Mandalika, episentrum wisata dan jalan panjang menuju dunia
Sore itu, langit di atas Pantai Kuta Mandalika, Lombok, mulai memerah, semburat jingga dan ungu bercampur di cakrawala. Ombak yang lembut memecah di tepian pasir, menciptakan irama alam yang menenangkan.
Di barisan warung kopi sederhana yang menghadap laut, aroma kopi panas bercampur dengan harum bakar ikan dan kue tradisional yang dijajakan pedagang setempat. Pak Lalu, warga asli Lombok Tengah, duduk di salah satu warung. Wajahnya menua, keriput menandai waktu yang telah ia lalui, tetapi matanya masih bersinar dengan rasa penasaran dan harapan.
Dari posisinya, ia menatap para pekerja yang tengah menata taman di sekitar sirkuit balap. Meski sibuk, para pekerja itu bergerak dengan ritme yang sama seperti denyut Mandalika yang tengah berubah.
Dahulu, kawasan ini sepi. Pantai yang kini ramai, dulunya hanya terdengar oleh suara angin dan burung camar. Kini, hiruk-pikuk aktivitas dan alat berat membelah ketenangan, menjadi simbol perubahan yang cepat.
Pak Lalu merasakan adanya jarak antara kehidupan masyarakat lokal dan kemegahan yang menyelimuti Mandalika. Banyak warga menunggu, bukan sekadar melihat, tetapi berharap bisa ikut hidup dari geliat pariwisata itu.
Keheningan sesaat di warung kopi itu menjadi cermin perjalanan panjang Mandalika, dari sebidang tanah pesisir yang penuh janji, hingga kini menjadi magnet global yang diuji konsistensinya.
Mandalika bukan lagi sekadar destinasi wisata. Dengan kehadiran sirkuit MotoGP, Lombok mendadak menjadi nama yang diperhitungkan di kancah sport tourism internasional.
Investasi infrastruktur sejak 2018 mencapai Rp5,74 triliun, menjadikannya sorotan dunia. Jalan, sirkuit, hotel, dan berbagai fasilitas pendukung event internasional mulai berdiri, mengubah lanskap pesisir yang dulu sepi menjadi pusat perhatian global. Namun, perjalanan menuju status kelas dunia tidak berhenti pada gemerlap ajang balap.
Dalam diskusi publik bertema “The Mandalika: Jalan NTB menuju Destinasi Kelas Dunia”, terungkap bahwa Mandalika kini berfungsi sebagai episentrum wisata.
Dampak ekonomi sudah menembus ratusan miliar rupiah, tetapi tantangan nyata adalah memastikan bahwa efek itu tidak berhenti di lingkar sirkuit. Analogi sederhana muncul bahwa Mandalika adalah jantung yang memompa darah ke seluruh tubuh.
Jika aliran hanya berhenti di bilik jantung, organ lain tak akan hidup. Sama halnya, Mandalika baru benar-benar berarti jika denyut ekonominya dirasakan di seluruh NTB, mulai dari Bima, Dompu, Sumbawa, hingga Lombok Utara.
Kunci keberhasilan Mandalika terletak pada integrasi dan kolaborasi lintas kabupaten/kota. Tanpa paket wisata yang menggabungkan berbagai atraksi di seluruh NTB, wisatawan hanya akan singgah sebentar.
Mereka datang untuk melihat balapan, menginap sebentar, lalu pergi. Mandalika harus menjadi gerbang, bukan ujung perjalanan, agar manfaat ekonomi, sosial, dan budaya benar-benar menyebar ke masyarakat lokal.
Investasi dan infrastruktur
Meskipun investasi besar telah digelontorkan, progres fisik masih menantang. Triwulan II 2025, realisasi investasi hanya Rp14,66 miliar dari target Rp537 miliar. Angka ini menunjukkan bahwa pembangunan fasilitas utama seperti terminal khusus dan hotel bintang lima di Tanjung Aan masih memerlukan percepatan.
Di sisi lain, sejumlah hotel sudah menunjukkan okupansi tinggi, mendekati 80 persen pada puncak musim tertentu, tetapi rata-rata keseluruhan masih di angka 39 persen. Hal ini menandakan bahwa distribusi manfaat ekonomi belum merata, dan masih ada PR besar bagi pengelola dan pemerintah.
Transportasi menjadi aspek krusial lain. Harga tiket pesawat dan akses menuju Mandalika harus dikendalikan. Jika tidak, wisatawan bisa terganggu dan masa tinggal mereka justru dipersingkat. Pemerintah menekankan perlunya harmonisasi kebijakan agar harga tetap wajar, layanan nyaman, dan perjalanan wisatawan lancar dari pintu masuk hingga ke berbagai atraksi.
Infrastruktur megah tak akan berarti tanpa sumber daya manusia yang memadai. Akademisi Poltekpar Lombok menekankan bahwa kualitas SDM masih menjadi titik lemah Mandalika. Bayangkan wisatawan internasional yang menemukan layanan yang kurang ramah atau prosedur yang membingungkan. Citra destinasi kelas dunia bisa runtuh seketika.
Pelatihan SDM telah digalakkan. Warga desa penyangga dibekali kemampuan mengelola homestay, kuliner, dan paket wisata. UMKM diberikan pendampingan untuk meningkatkan kualitas produk dan promosi.
Namun, semua itu harus diperluas dan disertifikasi sesuai standar internasional. Tanpa SDM yang handal, Mandalika hanya akan menjadi pameran fisik, bukan destinasi pariwisata yang berkelanjutan.
Salah satu kritik utama adalah potensi masyarakat sekitar hanya menjadi penonton, bukan pemain aktif dalam geliat Mandalika. Kawasan ini telah menyerap lebih dari 19 ribu tenaga kerja, tetapi ruang bagi usaha lokal masih terbatas.
ITDC mencoba mengatasi hal ini dengan membina UMKM, menyiapkan tempat bagi pedagang, dan melibatkan desa penyangga dalam event. Kolaborasi hexahelix antara pemerintah, swasta, akademisi, komunitas, media, dan masyarakat, menjadi strategi penting agar kemajuan fisik Mandalika selaras dengan kesejahteraan lokal
Pariwisata berkelanjutan
MotoGP memang menjadi sorotan utama Mandalika, bahkan disebut sebagai ikon internasional yang menempatkan Lombok di peta dunia. Namun, jika destinasi ini hanya mengandalkan satu event, risikonya terlalu besar.
Gangguan teknis, perubahan cuaca, atau situasi global yang tak terduga bisa membuat kunjungan wisatawan menurun drastis, sementara ekonomi lokal dan peluang kerja masyarakat terganggu. Oleh karena itu, diversifikasi kegiatan menjadi strategi krusial agar Mandalika tetap hidup dan bermanfaat sepanjang tahun.
Festival budaya, ajang olahraga internasional, konser musik, pameran kerajinan, serta promosi kuliner lokal harus digelar secara rutin. Setiap kegiatan memberikan warna tersendiri.
Festival budaya menampilkan tradisi Sasak, ajang olahraga menarik wisatawan aktif, konser musik dan pameran kerajinan menambah daya tarik hiburan, sementara kuliner lokal memperkenalkan cita rasa Lombok ke dunia internasional.
Dengan strategi ini, Mandalika bukan sekadar lokasi balapan tahunan, tetapi destinasi yang berdenyut sepanjang tahun. Warga lokal mendapat peluang usaha, UMKM berkembang, dan ekonomi daerah tumbuh merata.
Lebih dari itu, wisatawan memperoleh pengalaman lengkap—dari budaya, olahraga, hiburan, hingga kuliner—menjadikan Mandalika lebih dari sekadar sirkuit, tetapi sebuah episentrum pariwisata yang hidup dan berkelanjutan.
Strategi kunci
Mandalika telah menunjukkan potensinya, tetapi untuk menjadi destinasi kelas dunia, langkah-langkah strategis perlu dijalankan, seperti halnya integrasi lintas daerah mutlak dilakukan, menjadikan Mandalika pintu masuk ke seluruh NTB dengan paket wisata yang menghubungkan Lombok, Sumbawa, dan Gili Trawangan.
Selain itu, Kontrol harga dan aksesibilitas juga penting. Koordinasi hotel, maskapai, dan transportasi lokal menjaga biaya tetap wajar dan layanan nyaman, agar wisatawan betah dan kembali lagi.
Peningkatan SDM juga menjadi fondasi pelayanan. Pramuwisata, pemandu, sopir, hingga aparat desa perlu pelatihan intensif agar standar internasional terpenuhi, karena keramahan manusia adalah wajah sejati Mandalika.
Begitu halnya diversifikasi event menjadi kunci agar destinasi hidup sepanjang tahun. MotoGP tetap ikon, namun festival budaya, olahraga, dan konser rutin harus digelar.
Terakhir, UMKM lokal harus diperkuat. Produk khas seperti tenun, kopi, dan kuliner dikemas menarik sebagai souvenir premium, menjangkau pasar internasional, sekaligus memberi manfaat nyata bagi masyarakat sekitar
Konsistensi
Masa depan Mandalika ibarat balapan jarak jauh. Start sudah gegap gempita, tetapi kemenangan sejati ditentukan oleh konsistensi, bukan sekadar kecepatan sesaat.
Pak Lalu mungkin tidak tahu angka investasi atau target okupansi hotel. Yang ia pahami sederhana, apakah keluarganya benar-benar bisa ikut menikmati geliat Mandalika?.
Mandalika telah menempatkan NTB di peta dunia. Namun, untuk menjadi destinasi kelas dunia sejati, Mandalika harus lebih dari sekadar sirkuit balap.
Ia harus menjadi episentrum yang memancarkan manfaat bagi seluruh NTB, membangun ekonomi lokal, memberdayakan masyarakat, dan mengokohkan citra Indonesia timur di mata dunia.
0 Response to "Mandalika, episentrum wisata dan jalan panjang menuju dunia"
Posting Komentar